HIKAYAT JOKOTOLE
Alkisah, Pore Koneng
melahirkan seorang bayi laki-laki karena mimpi. Bayi tersebut tidak diharapkan
kelahirannya dan dibuang ke hutan.
Ia mengerjap-ngerjapkan matanya lantas melihat sosok itu sekali lagi.
Sesosok tubuh berbahu bidang yang berdiri di bawah sebuah pohon rindang. Bulu kuduknya
merinding. Ia merasakan sesuatu mencengkram hatinya dan membuat dirinya ingin
segera enyah dari tempat itu. Tapi kakinya seolah-olah terganjal sesuatu. Ia
tak juga beranjak. Berlari atau berjalan cepat menjauh dari sosok tersebut.
Sosok itu berjalan mendekat, menjauhi juluran ranting yang membuat
tubuhnya seperti bayang-bayang. Ia melihat wajahnya yang tersaput berkas cahaya
rembulan. Kulitnya kuning agak kecoklatan. Perempuan tersebut tak juga beranjak bahkan ketika jarak
diantara keduanya hanya satu depa.
Rasa takutnya terbaca oleh pemuda tersebut.
“Jangan takut, nama saya Agus Wedi” ujarnya lembut. Ia mengulurkan
tangannya ke arah perempuan tersebut. Berharap agar uluran tangannya diterima.
Seperti dituntun oleh sesuatu perempuan tersebut tidak menampik uluran
tangannya.
Mereka lantas berjalan dalam keremangan cahaya bulan. Menuju sebuah
tempat yang asing.
-------
Bulan bersembunyi di balik kumpulan awan sebelum muncul kembali.
Cahayanya terang karena ia sedang purnama. Potre Koneng tergagap bangun dari
mimpinya barusan. Napasnya terengah-engah. Butir-butir keringat membasahi
wajahnya yang senantiasa bersinar. Cahaya purnama memperjelas wajah pias sang
putri. Malam belum beranjak putri. Gelap masih menyelimuti desa tempatnya
bersemedi.
Ia memanggil-manggil pengasuhnya yang setia. Seorang perempuan paruh baya
yang ikut mengasuhnya semenjak kecil. Perempuan paruh baa tersebut terhentak
melihat wajah sang putri yang pucat pasi. Ia mendekati sang putri dan menegur
lembut.
“Ada apa,
Putri?” tanyanya sehalus mungkin. Tangannya yang cekatan mengelap wajah sang
putri dengan kain.
“Saya bermimpi, Bu. Mimpi yang membuat saya enggan pulang. Saya malu,
malu yang teramat sangat, terutama kepada ayah handa” jawab sang Putri dengan
suara pelan dan nyaris putus-putus.
Si pengasuh melihat kekhawatiran di wajah sang putri. Kecantikan wajahnya
tidak berkurang meski diliputi ketakutan.
“Kalau ibu boleh tahu, mimpi apa yang dialami oleh sang putri enggan
kembali ke keraton??” tanya si pengasuh hati-hati. Hatinya juga diliputi
kecemasan bila putri kesayangannya tidak mau pulang.
Potre koneng menundukkan kepalanya dalam-dalam sebelum bercerita
“Tadi saya bermimpi didatangi oleh seorang pemuda. Ia memperkenalkan diri
dengan nama Agus Wedi. Kami bergandengan tangan menuju sebuah tempat, dan aku
meakukan hal yang tidak pantas bersamanya.”
Si pengasuh menarik napas dalam-dalam. Ia memegang pundak sang putri,
menguatkan hatinya. Ia tahu dalam kehidupan nyata sang putri tidak akan lancang
berbuat hal yang tidak senonoh. Ia sangat menjaga diri. Memandang lekat
laki-laki asingpun tidak pernah. Baik di luar atau di dalam keraton. Apalagi
jika sampai berduaan.
“Saya tidak mau pulang, Bu” ujar sang putri mengulangi penyataannya.
Pengasuh Potre Koneng menggeleng-gelengkan kepala.
“Putri harus tetap pulang, itu hanya
mimpi. Tidak benar-benar terjadi. Putri tidak bersalah.”
“Tapi seperti nyata, Bu dan saya masih ingat betul bagaimana mimpi
tersebut” lagi-lagi Potre Koneng berkata lesu. Ia seperti tak memiliki gairah
hidup.
“Tidak, Den Ayu Putri harus tetap pulag. Segera setelah terbit matahari.”
--------
Beberapa hari setelah kepulangan Potre Koneng ke keraton sang putri
terkena masuk angin. Ia kerap muntah-muntah. Si pengasuh yang menemani sang
putri bertapa mengira bahwa itu Potre Koneng jarang makan sejak kepulangannya
dari bersemedi sehingga tubuhnya mudah terserang penyakit.
Namun ternyata dugaan si pengasuh salah karena perut Potre Koneng mulai
membesar. Ia tidak berani keluar kamar karena perutnya nampak membuncit.
“Apakah salah saya, Bu??” hingga saya dihukum seperti ini oleh Sang
Pangeran” desah Potre Koneng sedih sambil mengelus-elus perutnya. Si pengasuh
menatap sang putri dengan perasaan iba.
“Ini bukan kesalahan putri. Mungkin sudah suratan takdir” ujarnya
menguatkan.
“Saya tidak sanggup menjawab pertanyaan ayahanda saat ini” Mata Potre
Koneng menerawang. Ia tidak mampu membayangkan wajah ayahandanya saat mereka
berhadapan nanti.
Apa yang ia khawatirkan terjadi pula. Ayahanda Potre Koneng akhirnya
mengetahui kehamilan Potre Koneng,
ia sangat murka saat mengetahui
kehamilan Potre Koneng. Beliau menuduh Potre Koneng berbuat yang tidak-tidak
meski sang putri sudah bercerita perihal mimpinya.
“Tidak, ayahanda tidak percaya sama sekali tidak percaya. Bagaimana
mungkin engkau hamil lantaran mimpi. Agus Wedi itu pasti ada di alam nyata
bukan mimpi. Engkau saja yang membuat-buat dia datang dalam mimpi.”
“Ananda tidak berbohong ayahanda. Sungguh!?!” ujar Potre Koneng memelas.
Dia merasa sedih karena sang ayah menyebutnya sebagai pendusta.
“Ayah tetap tidak percaya, seharusnya Ayah membunuhmu karena telah
mencemari nama baik keluarga” geram ayah Potre Koneng.
Potre Koneng nampak sangat ketakutan mendengar ucapan ayahnya. Ibu Potre
Koneng yang ikut mendengarkan ucapan suaminya tidak rela bila putrinya di
bunuh. Ia membujuk suaminya untuk mengasingkan Potre Koneng bukan dibunuh
seperti ucapan suaminya.
--------
Potre Koneng akhirnya meninggalkan keraton. Ia dengan ditemani pengasuh
setianya menjauh dari keramaian kota.
------
Setelah kandungannya berusia sembilan bulan sepuluh hari Potre Koneng
melahirkan anaknya. Anak Potre Koneng tersebut berjenis kelamin laki-laki. Bayi
tersebut nampak sehat dan tampan. Ia lahir dengan rupa seperti anak manusia
pada umumnya.
Namun ada satu kejanggalan yang terjadi. Potre Koneng atas kuasa Tuhan
melahirkan tanpa di sertai oleh darah sebagaiman lazimnya perempuan-perempuan
biasa. Si pengasuh yang menyaksikan kejadian tersebut takjub akan keanehan
tersebut. Ia semakin yakin bahwa Potre Koneng memang tidak bersalah dan kehamilannya memang menjadi
salah satu bukti dari suratan takdirnya.
“Den Ayu memang tidak bersalah. Melahirkan tanpa rasa sakit dan darah,
tidak seperti perempuan pada umumnya” ungkap si pengasuh sambil mendekap orok
yang masih merah tersebut dalam buaiannya.
Ia mengelus-elus pipi sang bayi dan berkali-kali memuji kebagusan
rupanya.
“Bayi ini tidak akan kubesarkan, Bu” ungkap Potre Koneng dengan suara lemah. Ia berujar dengan rasa
sedih. Ia menyadari bahwa tidak mungkin mengasuh bayi tersebut tanpa kehadiran
seorang ayah. Si pengasuh terheran-heran.
“Lantas mau dikemankan anak ini, putri ??” tanyanya sekali lagi.
“Dengan amat terpaksa aku akan meninggalkan anak ini di hutan.
Menyerahkan nasibnya pada takdir. Ia lahir dengan keanehan, jikalau memang ia
ditakdirkan hidup ia akan tumbuh dewasa tapi jika tidak..” sang putri tidak melanjutkan kata-katanya.
Jemarinya menyentuh lembut bayi tampan tersebut. Jauh di lubuk hatinya ia
merasa sayang dan kasihan namun ada dorongan kuat yang membuatnya mengambil
keputusan tersebut.
“Putri betul-betul ingin meninggalkan bayi ini??” tanya si pengasuh ragu.
Ia merapikan kain yang membungkus tubuh telanjang bayi tersebut . Potre Koneng
mengangguk.
“Lebih cepat lebih baik. Tinggalkan ia di tempat yang aman” pintanya.
Si pengasuh bekerja dengan cepat. Ia menyiapkan kotak kayu yang dialasi
kain sebagi tempat tidur bayi. Lantas membaringkan tubuh bayi mungil tersebut
diatasnya. Bayi tersebut sama sekali tidak menangis. Ia seolah-olah mengerti
keresahan ibundanya dan tidak mau merepotkan.
“Saya minta diri Putri, saya akan kembali secepatnya” si pengasuh
tersebut segera beranjak pergi. Tubuhnya menghilang di sela-sela pepohonan.
Potre Koneng menunggu sambil berharap cemas.
------
Si pengasuh menyusuri hutan dengan perasaan cemas. Ia takut bayi dalam kotak
tersebut terbangun dan menangis. Tangisan bayi dalam dekapannya dapat menarik
perhatian binatang buas dalam hutan.
Ia berhenti di pinggiran huta lainnya. Hutan kecil tersebut tidak
membutuhkan waktu yang lama bagi si pengasuh untuk menyusurinya.
Pandangan matanya menangkap sebuah rumah kayu di tempat yang agak jauh
dari tempatnya berdiri. Rumah tersebut dipagari bambu dengan ukuran hampir
setinggi orang dewasa. Si pengasuh tidak melihat penghuni rumah tersebut namun
jika melihat kondisinya yang terawat ia yakin rumah tersebut masih berpenghuni.
Si pengasuh meletakkan bayi Potre Koneng di atas kayu-kayu yang tertumpuk
tidak teratur. Ia memastikan kotak tempat tidur
bayi tergeletak sempurna sehingga tidak akan terjatuh karena diterpa
angin.
Dalam hatinya ia berharap agar penghuni rumah tersebut cepat menemukan
bayi malang ini
dan mengangkatnya sebagai anak. Merawat dan mendidiknya hingga dewasa agar anak
Potre Koneng tersebut akan mencari keluarga kandungnya. Terlebih dapat bertemu
kembali dengan ibu yang telah melahirkannya yang tidak lain adalah Potre Koneng
sendiri. Putri seorang raja di daerah Sumenep.
Air mata si pengasuh berderai saat meninggalkan bayi tersebut.
Langkah-langkah kakinya terdengar menjauh ke dalam hutan. Ia harus segera
kembali kepada Potre Koneng, memberitahukan tempat ia meletakkan bayinya di
tempat yang aman.
------
Wajah bayi Potre Koneng senantiasa bersinar. Kedua matanya yang terpejam
mulai terbuka karena perutnya terasa lapar. Ia menangis.
Suara tangisan bayi Potre Koneng lebih mirip erangan sehingga tidak
membangunkan penghuni rumah kayu. Akan tetapi malah menarik perhatian seekor
kambing yang kebetulan merumput tak menjauh dari bayi Potre Koneng berada.
Kambing tersebut milik seorang pembuat keris yang tinggal di rumah kayu tersebut.
Pembuat keris yang dikenal dengan nama Empu Kelleng tersebut belum dikaruniai
seorang anak.
Kambing betina itu berjalan mendekatai tumpukan kayu karena tertarik
dengan sinar yag memancar dari benda tesebut dan menemukan seorang anak manusia
yang tidak berdaya di sana.
Atas tuntunan yang Kuasa kambing tersebut menyusui si bayi hingga si bayi tidak
menangis karena lapara lagi.
Angin menyapu wajah si bayi yang bersinar. Kedua bola matanya yang
memancarkan kepolosan dan kecerdasan sekaligus seolah-olah menyiratkan suratan
takdir bahwa ia akan menjadi penguasa di tanah Madura kelak.