Madura Road. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Sejarah kiai Kholil Bangkalan


Sejarah kiai Kholil Bangkalan


Kiai Kholil lahir pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H di Bangkalan Madura. Ayahnya bernama Abdul Latif bin Kiai Harun bin Kiai Muharram bin Kiai Asrol Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman ialah cucu Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu beliau sangat mengharap dan mohon kepada Allah SWT agar anaknya menjadi pemimpin umat serta mendambakan anaknya mengikuti jejak Sunan Gunung Jati.

Setelah tahun 1850 Kiai Kholil muda berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban, kemudian untuk menambah ilmu dan pengalaman beliau nyantri di Pesantren Cangaan Bangil, Pasuruan. Dari sini pindah lagi ke Pesantren Keboncandi Pasuruan. Selama di Keboncandi beliau juga berguru kepada Kiai Nur Hasan di Sidogiri, Pasuruan. Selama di Keboncandi, beliau mencukupi kebutuhan hidup dan belajarnya sendiri dengan menjadi buruh batik, agar tidak merepotkan orang tuanya, meskipun ayahnya cukup mampu membiayainya.

Kemandirian Kiai Kholil nampak ketika beliau berkeinginan belajar ke Makkah, beliau tidak menyatakan niatnya kepada orang tuanya apalagi minta biaya, tetapi beliau memutuskan belajar di sebuah pesantren di Banyuwangi. Selama nyantri di Banyuwangi ini belaiau juga menjadi buruh pemetik kelapa pada gurunya, dengan diberi upah 2,5 sen setiap pohon, upah ini selalu ditabung.
Tahun 1859 ketika berusia 24 tahun Kiai Kholil memutuskan untuk berangkat ke Makkah dengan biaya tabungannya, tetapi sebelum berangkat oleh orang tuanya Kiai Kholil dinikahkan dengan Nyai Asyik. Di Makkah beliau belajar pada syekh dari berbagai madzhab di Masjidil Haram, tetapi beliau lebih banyak mengaji kepada syekh yang bermadzhab Syafi'i.
Sepulang dari Tanah Suci, Kiai Kholil dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot yang hebat, bahkan ia dapat memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafidz (hafal Al-Quran 30 juz). Kiai Kholil kemudian mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan.
Setelah puterinya yang bernama Siti Khotimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri Kiai Muntaha, pesantren di Desa Cengkebuan itu diserahkan kepada menantunya. Sedangkan Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren di Desa Kademangan, hampir di pusat kota sekitar 200 m sebelah barat alun-alun Kota Bangkalan. Di pesantren yang baru ini beliau cepat memperoleh santri. Santri yang pertama dari Jawa tercatat nama Hasyim Asy’ari dari Jombang.

Pada tahun 1924 di Surabaya ada sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar yang didirikan oleh seorang kiai muda Abduk Wahab Hasbullah. Dalam perkembangannya, ketika Kiai Wahab Hasbullah beserta Kiai Hasyim Asy’ari bermaksud mendirikan jam’iyah, Kiai Kholil memberikan restu dengan cara memberikan tongkat dan tasbih melalui Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari.

Pada tanggal 29 Romadlon 1343 H dalam usia 91 tahun, karena usia lanjut belaiu wafat. Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren Kiai Kholil.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

 Sejarah Bangkalan

Bangkalan berasal dari kata “bangkah” dan ”la’an” yang artinya “mati sudah”. Istilah ini diambil dari cerita legenda tewasnya pemberontak sakti Ki Lesap yang tewas di Madura Barat. Menurut beberapa sumber, disebutkan bahwa Raja Majapahit yaitu Brawijaya ke V telah masuk Islam (data kekunoan di Makam Putri Cempa di Trowulan, Mojokerto). Namun demikian siapa sebenarnya yang dianggap Brawijaya ke V.
Didalam buku Madura en Zijin Vorstenhuis dimuat antara lain Stamboon van het Geslacht Tjakradiningrat.
Dari Stamboon tersebut tercatat bahwa Prabu Brawijaya ke V memerintah tahun 1468–1478. Dengan demikian, maka yang disebut dengan gelar Brawijaya ke V (Madura en Zijin Vorstenhuis hal 79) adalah Bhre Krtabhumi dan mempunyai 2 (dua) orang anak dari dua istri selir. Dari yang bernama Endang Sasmito Wati melahirkan Ario Damar dan dari istri yang bernama Ratu Dworo Wati atau dikenal dengan sebutan Putri Cina melahirkan Lembu Peteng. Selanjutnya Ario Damar (Adipati Palembang) mempunyai anak bernama Menak Senojo.
Menak Senojo tiba di Proppo Pamekasan dengan menaiki bulus putih dari Palembang kemudian meneruskan perjalannya ke Barat (Bangkalan). Saat dalam perjalanan di taman mandi Sara Sido di Sampang pada tengah malam Menak Senojo mendapati banyak bidadari mandi di taman itu, oleh Menak Senojo pakaian salah satu bidadari itu diambil yang mana bidadari itu tidak bisa kembali ke kayangan dan akhirnya jadi istri Menak Senojo.

Bidadari tersebut bernama Nyai Peri Tunjung Biru Bulan atau disebut juga Putri Tunjung Biru Sari. Menak Senojo dan Nyai Peri Tunjung Biru Bulan mempunyai anak Ario Timbul. Ario Timbul mempunyai anak Ario Kudut. Ario Kudut mempunyai anak Ario Pojok. Sedangkan di pihak Lembu Peteng yang bermula tinggal di Madegan Sampang kemudian pindah ke Ampel (Surabaya) sampai meninggal dan dimakamkan di Ampel, Lembu Peteng mempunyai anak bernama Ario Manger yang menggantikan ayahnya di Madegan Sampang. Ario Manger mempunyai anak Ario Pratikel yang semasa hidupnya tinggal di Gili Mandangin (Pulau Kambing). Dan Ario Pratikel mempunyai anak Nyai Ageng Budo.
Nyai Ageng Budo inilah yang kemudian kawin dengan Ario Pojok. Dengan demikian keturunan Lembu Peteng menjadi satu dengan keturunan Ario Damar. Dari perkawinan tersebut lahirlah Kiai Demang yang selanjutnya merupakan cikal bakal Kota Baru dan kemudian disebut Plakaran. Jadi Kiai Demang bertahta di Plakaran Arosbaya dan ibukotanya Kota Baru (Kota Anyar) yang terletak disebelah Timurdaya Arosbaya. Dari perkawinannya dengan Nyai Sumekar mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu :
Kiai Adipati Pramono di Madegan Sampang.
Kiai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan.
Kiai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen .
Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo .
Kiai Pragalbo yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta di Plakaran, setelah meninggal dikenal sebagai Pangeran Islam Onggu'.
Namun perkembangan Bangkalan bukan berasal dari legenda ini, melainkan diawali dari sejarah perkembangan Islam di daerah itu pada masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur.
Beliau adalah anak Raja Pragalba, pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara. Panembahan Pratanu diangkat sebagai raja pada 24 Oktober 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalba wafat. Jauh sebelum pengangkatan itu, ketika Pratanu masih dipersiapkan sebagai pangeran, dia bermimpi didatangi orang yang menganjurkan dia memeluk agama Islam. Mimpi ini diceritakan kepada ayahnya yang kemudian memerintahkan patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus.
Perintah ini dilaksanakan sebaik-baiknya, bahkan Bageno bersedia masuk Islam sesuai saran Sunan Kudus sebelum menjadi santrinya selama beberapa waktu lamanya. Ia kembali ke Arosbaya dengan ilmu keislamannya dan memperkenalkannya kepada Pangeran Pratanu.
Pangeran ini sempat marah setelah tahu Bageno masuk Islam mendahuluinya. Tapi setelah dijelaskan bahwa Sunan Kudus mewajibkannya masuk Islam sebelum mempelajari agama itu, Pangeran Pratanu menjadi maklum.
Setelah ia sendiri masuk Islam dan mempelajari agama itu dari Empu Bageno, ia kemudian menyebarkan agama itu ke seluruh warga Arosbaya. Namun ayahnya, Raja Pragalba, belum tertarik untuk masuk Islam sampai ia wafat dan digantikan oleh Pangeran Pratanu. Perkembangan Islam itulah yang dianut oleh pimpinan di Kabupaten Bangkalan ketika akan menentukan hari jadi kota Bangkalan, bukan perkembangan kekuasan kerajaan di daerah itu.
Jauh sebelum Pangeran Pratanu dan Empu Bageno menyebarkan Islam, sejumlah kerajaan kecil di Bangkalan.
Diawali dari Kerajaan Plakaran yang didirikan oleh Kyai Demang dari Sampang. Yang diperkirakan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh pada saat itu. Kyai Demang menikah dengan Nyi Sumekar, yang diantaranya melahirkan Raden Pragalba. Pragalba menikahi tiga wanita. Pratanu adalah anak Pragalba dari istri ketiga yang dipersiapkan sebagai putera mahkota dan kemudian dikenal sebagai raja Islam pertama di Madura. Pratanu menikah dengan putri dari Pajang yang memperoleh keturunan lima orang :
Pangeran Sidhing Gili yang memerintah di Sampang. Raden Koro yang bergelar Pangeran Tengah di Arosbaya, Raden Koro menggantikan ayahnya ketika Pratanu wafat. Pangeran Blega yang diberi kekuasaan di Blega. Ratu Mas di Pasuruan dan Ratu Ayu.
Kerajaan Arosbaya runtuh diserang oleh Mataram pada masa pemerintahan Pangeran Mas pada tahun 1624. Pada pertempuran ini Mataram kehilangan panglima perangnya, Tumenggung Demak, beberapa pejabat tinggi kerajaan dan sebanyak 6.000 prajurit gugur.
Korban yang besar ini terjadi pada pertempuran mendadak pada hari Minggu, 15 September 1624, yang merupakan perang besar. Laki-laki dan perempuan kemedan laga. Beberapa pejuang laki-laki sebenarnya masih bisa tertolong jiwanya. Namun ketika para wanita akan menolong mereka melihat luka laki-laki itu berada pada punggung, mereka justru malah membunuhnya.
Luka di punggung itu menandakan bahwa mereka melarikan diri, yang dianggap menyalahi jiwa ksatria. Saat keruntuhan kerajaan itu, Pangeran Mas melarikan diri ke Giri. Sedangkan Prasena (putera ketiga Pangeran Tengah) dibawa oleh Juru Kitting ke Mataram, yang kemudian diakui sebagai anak angkat oleh Sultan Agung dan dilantik menjadi penguasa seluruh Madura yang berkedudukan di Sampang dan bergelar Tjakraningrat I.
Keturunan Tjakraningrat inilah yang kemudian mengembangkan pemerintahan kerajaan baru di Madura, termasuk Bangkalan. Tjakraningrat I menikah dengan adik Sultan Agung. Selama pemerintahannya ia tidak banyak berada di Sampang, sebab ia diwajibkan melapor ke Mataram sekali setahun ditambah beberapa tugas lainnya. Sementara kekuasaan di Madura diserahkan kepada Sontomerto.
Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat tidak mempunyai keturunan sampai istrinya wafat. Baru dari pernikahannya dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan Sunan Giri ), ia memperoleh tiga orang anak dan beberapa orang anak lainnya diperoleh dari selirnya (Tertera pada Silsilah yang ada di Asta Aer Mata Ibu.
Bangkalan berkembang mulai tahun 1891 sebagai pusat kerajaan dari seluruh kekuasaan di Madura, pada masa pemerintahan Pangeran Tjakraningrat II yang bergelar Sultan Bangkalan II. Raja ini banyak berjasa kepada Belanda dengan membantu mengembalikan kekuasaan Belanda di beberapa daerah di Nusantara bersama tentara Inggris.
Karena jasa-jasa Tjakraningrat II itu, Belanda memberikan izin kepadanya untuk mendirikan militer yang disebut ‘Corps Barisan’ dengan berbagai persenjataan resmi modern saat itu. Bisa dikatakan Bangkalan pada waktu itu merupakan gudang senjata, termasuk gudang bahan peledak.
Namun perkembangan kerajaan di Bangkalan justru mengkhawatirkan Belanda setelah kerajaan itu semakin kuat, meskipun kekuatan itu merupakan hasil pemberian Belanda atas jasa-jasa Tjakraningrat II membantu memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Belanda ingin menghapus kerajaan itu. Ketika Tjakraningrat II wafat, kemudian digantikan oleh Pangeran Adipati Setjoadiningrat IV yang bergelar Panembahan Tjokroningrat VIII, Belanda belum berhasil menghapus kerajaan itu. Baru setelah Panembahan Tjokroadiningrat wafat, sementara tidak ada putera mahkota yang menggantikannya, Belanda memiliki kesempatan menghapus kerajaan yang kekuasaannya meliputi wilayah Madura itu.
Raja Bangkalan Dari Tahun 1531 - 1882
Tahun 1531 - 1592 : Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
Tahun 1592 - 1620 : Raden Koro (Pangeran Tengah)
Tahun 1621 - 1624 : Pangeran Mas
Tahun 1624 - 1648 : Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
Tahun 1648 - 1707 : Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
Tahun 1707 - 1718 : Raden Tumenggung Suroadiningrat
(Pangeran Cakraningrat III)
Tahun 1718 - 1745 : Pangeran Sidingkap (Pangeran Cakraningrat IV)
Tahun 1745 - 1770 : Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
Tahun 1770 - 1780 : Raden Tumenggung Mangkudiningrat
(Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VI)
Tahun 1780 - 1815 : Sultan Abdu/Sultan Bangkalan I
(Panembahan Adipati Pangeran Cakraadiningrat VII)
Tahun 1815 - 1847 : Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
Tahun 1847 - 1862 : Raden Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
Tahun 1862 - 1882 : Raden Ismael (Panembahan Cakraadiningrat VIII)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SEJARAH PAMEKASAN-MADURA (PANEMBAHAN RONGGOSUKOWATI)

A.    Sejarah Awal Munculnya Kerajaan di Madura
Pada zaman dahulu, konon Raja Majapahit mengangkat salah seorang  putranya menjadi Kammi Tuwo di pesisir Madura, yakni di Kabupaten sampang yang di kenal dengan nama Ki Ario Lembu Peteng.
Dalam Babad Madura disebutkan bahwa Ki Ario Lembu Peteng inilah yang menurunkan Raja-raja di madura bagian Barat, Ki Aio Lembu Peteng yang beragama budha kemudian masuk islam dan wafat di Ampel sebelum mengislamkan putra-putranya.
Sebagai gantinya di angkatlah putranya yang bernana Ario Menger menjadi Kami Tuwo, dan semasa hidup ayahnya, adiknya yang bernama Ario Mengo diperintah untuk membabat hutan di sebelah timur Madegan. Oleh karena itu, ia bersama pengikutnya menyusuri selat madura bagian selatan karena jalan itulah yang mereka aggap paling aman dari binatang buas.
Di suatu tempat, rombongan Ki Ario Mengo beristirahat, karena tempat yang di singgahi cukup bagus, pepohonan rindang, sejuk, dan terdapat mata air. Timbullah keinginan untuk menetap di situ, kemudian Ki Ario Mengo memeritahkan pengikutnya untuk membabat hutan adan menyuruh pengikutnya untuk membangun rumah dan pagar, yang pintunya terletak di sebelah utara (daja bahasa madura). Demikianlah berdiri keraton kecil yang di beri nama keraton lawangan daya.
Keraton itu semakin lama semakin maju, akhirnya melebihi tempat kelahirannya sendiri, karena Ki Ario Mengo dapat memimpin rakyatnya dengan adi dan bijaksana, sehingga rakyat makmur dan tertur. Masyarakat yang bertempat tinggal di dekat keraton pun berduyun-menghadap untuk mengabdi kepadanya, demikian pula di antara keluarganya yang tinggal di madegan berdatangan dan menetap di Keraton Lawangan Daya.
B.     Asal Nama Kota Pamekasan.
Ki Ario Mengo memiliki seorang putri tunggal yang bernama Nyi Banu. Mia tumbuh menjadi putri yang cerdas dan rupawan, setelah ayahnya wafat, Nyi Banu naik tahta dengan gelar Ratu Pawelingan atau Ratu Pawekasan, karena ia merupakan satu-satunya putri yang menggantikan ayahhandanya, sehingga membuat nama dan keratonya menjadi mashur, dan akhirnya keraton tersebut di kenal dengan nama keraton pamekasan.
Syahdan menceritakan bahwa penggantian nama pawelingan menjadi pamekasan berasalo dari cerita Kek Lesap, sebenarnya ia adalah putra selir Pangeran Cakraningrat V, yaitu Raja Bangkalan. Akan tetapi ia tidak di akui sebagai anak kandungnya, akan tetapi dia tetap memaksakan dirinya untuk mengabdi kepada ayahnya menjadi tukang kuda keraton yang setiap hari harus menyiapkan kuda untuk kompeni belanda.
Akan tetapi Kek Lesap tidak menyukai kerja sama yang di lakukan oleh ayahandanya dengan belanda sehingga dia pergi meninggalkan keraton untuk mengaji, oleh karena ia anak yang cerdas, maka dia di jadikan pembantu oleh kiainya. Pengalam pahitnya ketika di keraton dan kebenciannya terhadap belanda, akhirnya ia bertapa ke gunung Geger di daerah Arosbaya, setelah lama di sana ia pindah ke gunung Payudan di daerah Guluk-guluk Sumenep. Di tempat baru inilah berbulan-bulan ia tidak keluar, ia menyatukan diri dengan Yang Maha Pencipta dengan jalan melupakan makan, minum dan tidur.
Kek Lesap kemudian memiliki kekuatan batin dan memperoleh senjata ampuh berupa celurit kecil yang di beri nama Kodhi’ Crangcang. Yang dengan senjata itu dia tidak takut untuk melawan belanda yangtelah menguasai bupati di daerah madura, dan dia tidak merasa hawatir untuk melawan senjata milik ayahnya.
Setelah Kek Lesap turun dari pertapaanya, ia mempengaruhi pendduk Gulu-guluk dan sekitarnya untuk melawan kompeni belanda dan keraton sumenep, mendebgan maksud Kek Lesap itu, Raden Alza yang bergelar Pangeran Cokro ningrat III, yakni Raja Sumenep hawatir untuk melawanyan, dia lari meloloskan diri untuk meminta bantuan kepada kompeni belanda di surabaya.
Di sumenep tidak ada perlawan, sehingga Kek Lesap dapat menguasai keraton sumenep dengan mudah, peristiwa itu terjadi pada tahun 1750. Dari laporan Raden Alza tersebut, kemudia Kompeni belanda mempersiapkan pasukannya di madura barat.
Dari sumenep Kek Lesap pergi ke arah barat,  kebetulan bupatinya (Adikoro IV)sedang pergi melaporkan ke semarang dan dalam perjalanan pulang dia singgah di rumah mertuanya (Cakraningrat V). ia hanya memberi pesan kepada patihnya  untuk diberitahukan bahwa daerah kekuasaan Radel Alza telah di tahlukkan. Dari pesan inilah agaknya kata Pawekasan menjadi Pamekasan.
C.    Keraton Mandilaras
Setelah pangeran Lendhu wafat, hampir seluruh rakyat pamekasan sudah memeluk islam, kemudian Pangeran Ronggosukowati naik tahta pada tahun 1530. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, beliau merekontruksi kota pamekasan hingga setaraf dengan kota-kota yang lain, hasil karyanya yaitu:
1.      Keraton Mandilaras dan gedung Pemerintahan, sejak pemerintahan Pangeran Ronggosukowati inilah terbentuknya suatu pemerintahan yang terorganisir, tertib dan teratur.
2.      Masjid jamik sebagai tempat peribadatan.
3.      Tangsi (asrama) Prajurit di sebelah timur keraton, sebagai tempat pendidikan para pemuda dan calon prajurit yang tangguh.
4.      Rumah Penjara yang tempatnya agak jauh dari keraton.
5.      Jalan silang di tengah-tengah kota Pamekasan, dan di sebelah timurnya ada kebun Raja.
6.      Makam umum yang berada sebelah utara agak jauh di belakang keraton.
7.      Kolam ikan yang diberi nama Si Ko’ol.
Dengan adanya keraton Mandilaras tersebut Pamekasan menjadi semakin mashur, banyak masyarakat yang mengagung-agungkan keindahan ndan kemegahannya,
Selain itu Pangeran Ronggosukowati memiliki keris yang sangat ampuh, yang konon menurut salah satu sumber lisan menyebutkan bahwa keris tersebut merupakan pemberian dari mahluk ghaib (sebangsa jin), dalam sebuah riwayat bahwa Pangeran Ronggosukowati selama tujuh hari kedatangan pemuda yang membawa bagian-bagian keris, pemuda tersebut tidak mau menyebutkan nama dan tempat asalnya, setelah pemuda tersebut selesai memberikian bagian keris kepada Pangeran, pemuda tersebut langsung menghilang.
Setelah bagian keris tersebut terkumpul, Pangeran Ronggo sukowati memanggil seorang empu keris yang tersohor untuk merakit bagian-bagian keris itu, setelah selesai terbentuklah sebilah keris yang berpamor “tunggal kukus” yang di beri nama keris “Joko Piturun”.
Menurut keteran salah seorang juru kunci pemakaman ronggosukowati, bapak H. Tahir menyebutkan, bahwa keris itu terbang mendatangi makam panembahan Ronggosukowati pada malam hari  tiap waktu tertentu kembali ketika henda fajar. Menurutnya, bahwa dahulu keraton dari bangkalan berniat untuk menjajah kota pamekasan, dalam artian keraton bangkalan ingin mengambil keris Joko Piturun yang merupakan paku bumi Pamekasan, Akan tetapi tidak berhasil. Sehingga menyebabkan pangeran Lemah Duwur meninggal.
Menurut keterangan lain, wafatnya pangeran Lemah Duwur dikarenakan kesalah fahaman dengan Pangeran Ronggosukowati.
ketika Pangeran Lemah Duwur pergi berkunjung ke keraton mandilaras, di sana beliau dan pengikutnya di sambut dengan sangat baik, Pangeran Lemah Duwur yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Pangeran Ronggosukowati. Pergi berkeliling keraton untuk melihat kemegahan keraton mandilaras.
Setelah agak lama berada di Pamekasan, karena perjalan kembali cukup jauh, maka keluarga Keraton mempersilahkan rombongan Pangeran Lemah Duwur untuk bermalam di pamekasan, Pangeran Ronggosukowati mempersilahkan rombongan tersebut beristirahat di pesanggrahan yang letaknya tidak jauh dari kolam si Ko’ol.
Karena hanya kolam itu yang belum di lihat oleh Pangeran Lemah Duwur, kemudian ia mengajak rombongannya untuk melihat kolam itu tanpa sepengetahuan Pangeran Ronggosukowati karena beliau masih ada dalam keraton,
Sesampainya di kolam tersebut beliau meminta izin kepada penjaganya untuk masuk melihat-lihat, akan tetapi penjaganya tidak memperbolehkan masuk tanpa izin dari Pangeran Ronggosukowati.
Kemudian penjaganya tersebut pergi menemui Pangeran Ronggosukowati yang ada di keraton untuk meminta izin, tapi Pangeran masih tertidur, sehingga penjaganya merasa sungkan untuk membangunkannya, karena menunggu sangat lama, Pangeran Lemah Duwur merasa bahwa Pangeran Ronggosukowati tidak mengizunkannya untuk masuk ke kolanm itu, akhirnya rombongan tersebut pulang tanpa sepengatuhan Pangeran Ronggosukowati.
Pangeran Ronggosukowati marah dan kecewa langsung menghunuskan kerisnya karena merasa hal itu merupakan suatu penghinaan, kemudian Pangeran Ronggosukowati segera bergegas menyusulnya, di tengah perjalan Pangeran Ronggosukowati bertemu dengan adiknya yang menjadi adipati sampang. beliau memberitahukan maksudnya kepada adipati Madegan, kemudian adipati tersebut menyarankan agar Pangeran Ronggosukowati mengurungkan niatnya dan beristihahat di Madegan.
Karena ia menuruti nasehat adiknya, Beliau hanya menusukkan kerisnya pada pohon waru seraya mengatakan, “ wahai pohon waru, sebenarnya aku tidak bermaksud membunuhmu, akan tepapi dengan keris sakti Joko Piturun ini kubunuh Pangeran Lemah Duwur.
Pada malam itu juga Pangeran Lemah Duwur bermimpi kejatuhan keris Ronggosukowati yang menancap di punggungnya, ajaib sekali ketia bangun, badannya terasa panas yang di sebabkan oleh bisul kecil di punggungnya, bisul itu semakin lama semakin memerah dan membesar, keesokan harinya di seluruh madura tersia bahwa Pangeran Lemah Duwur telah wafat.
Mendengar hal itu Pangeran Ronggosukowati merasa mesnyesal dan membuang keris saktinya ke kolam Si Ko’ol, setelah keris itu menyentuh air, terdengar suara ghaib “Pangeran Ronggosukowati, sayang engkau membuangku, kalau tidak, pasti pulau jawa akan berada di bawa kekuasaanmu,”
Kemudian pangeran menyuruh semua orang untuk mencari keris itu, akan tetapi keris itu hingga sekarang belum di temukan.
D.    Pemakaman Panembahan Ronggosukowati
Jika kita mengunjungi pemakaman Pangeran Ronggosukowati yang terletak di jalan Ronggosukowati tepat di sebelah baratnya pasar kolpajung (yang dulunya merupakan lokasi kolam seko’ol). Maka di lihat dari gerbangnya saja sudah di ketahui bahwa lokasi itu merupakan tempat keramat, dari corak arsitekturnya terdapat ornamen cina seperti ukiran buka teratai emas yang terletak di pintu gerbang luarnya, dan atap nya lebih condong kepada corak hindu.
Setelah masuk lebih dalam sedikit, maka terdapat banyak sekali makam, akan tetapi itu semua merukan areal pemakan umum, kecuali memang ada beberapa kuburan kuno, salah satunya yakni kuburan yang berada di pojok sebelah timur, yang merupakan kuburan Kyai Pamorogen, Belia merupakan guru ngaji Putra Pangeran Ronggosukowati,  selanjutnya lebih kedalam lagi, akan ada gapura yang berdiri kokoh, bentuk gapura di bagian dalam hampir mirip dengan gapura peninggalan majapahit, hal itu tidak mengherankan karena keraton Mandilaras merupakan kerajaan islam bernuansa Majapahit. nah di lokasi itulah para putra Pangeran Ronggosukowat di makamkan, yakni di sebelah barat adalah makam Raden Jimat, kemudia di tengah merupakan makam Raden Pacar, kemudia agak ketimur sedikit, adalah makam Pangeran Purboyo.
Pangeran Agung Zimat dan Raden Ayu Pacar adalah Putra Pangeran Ronggosukowati dengan Ratu Inten atau Raden Ayu Kumala Intan yang merupakan keturunan Raden Paku atau Sunan Giri,  akan tetapi Raden Ayu  Pacar wafat di usia muda, sehingga tidak dapat meneruskan perjuangan Ayahandanya.
Gambar 1.1
Makam Pangeran Agung Zimat
Jika kita perhatikan makam Pangeran Agung Zimat dan Raden Ayu Pacar, akan nampak jelas peninggalan prasasti Majapahit yang merupakan kerajaan bercorak Hindu-Budha, dari ukiran badan makam yang menyerupai ornamen candi. tapi, bentuk nisannya sudah bercorak islam, begitupun dengan makam Raden Ayu Pacar, meski sudah ada bagian yang rusak karena di makan usia, tapi peninggalan sisa-sisa majapahitnya masih nampak jelas.
Dari kedua makam putra Pangeran Ronggosukowati tersebut memiliki corak hindu dan islam, kecuali makam Raden Purbaya, yang sudah bernuansa islam.
Menurut keterangan Juru Kunci pemakaman, H. Tahir; Pangeran Purboyo  merupakan keturunan Pangeran Ronggosukowati dengan seorang Selir yaitu Rato Ebu Bangkalan. Akan tetapi keterangan ini sangat lemah, dan ada kemungkinan keliru. Karena menurut sumber sejarah lain, salah satunya Babad Sampang, di dalamnya terdapat keterangan bahwa Ratu Ebu atau yang kita kenal dengan sebutan Syarifah Ambami merupakan Istri Pangeran Cakraningrat I, berikut akan kami paparkan skema silsilah Panembahan Ranggasukowati.
SKEMA SILSILAH PANEMBAHAN RONGGOSUKOWATI
Gambar 1.2
Skema silsilah Panembahan Ronggosukowati
Dari skema diatas menyebutkan bahwa Pangeran Ronggosukowati memiliki hubunagn darah dengan Ken Arok (1222-1247) Raja Singosari dengan gelar Rajasa Sang Amuwabumi dan merupakan keturunan Raja Majapahit pertama, yakni Raden Wijaya (1328-1350) yang bergelar Kertarajasa Jayawadhana. Jadi sangat wajar ketika Mataram berhasil menguasai Majapahit, dan hendak meperluas daerah kekuasaannya. seluruh kerajaan di Madura termasuk salah satunya adalah Pamekasan tidak mau  tunduk dan tetap mempertahankan kekuasaan dan budaya Majapahit sebagai budaya warisan, bersatunya seluruh kerajaan di Madura dilatar belakangi karena semua Raja tersebut masih memiliki hubungan kekeluargaan, yakni sama-sama keturunan Majapahit
Selanjutnya akan kita temui gapura ketiga, yaitu tempat raja Ronggosukowat berserta Istrinya Ratu Inten dimakamkan, letak makam Raja terletak di tengah, bentuk arsutektur  kuburannya pun berbeda dengan kuburan yang lain, hal ini dimaksudkan untuk membedakan kuburan Raja dengan kuburan yang lain dan sebagai bentuk penghormatan kepada sang Raja. kuburan Panembahan Ronggo sukowati terletak lebih tinggi dan berada dalam bagunan yang dihias oleh ukiran kayu. bentuk makamnya terlihat amat besar dan megah seperti tiga buah makam yang di satukan secara bertingkat, bentuk arsiteknya bercorak hindu dan islam, corak hindu terpat pada bentuk badan makam, dan corak keislamannya di ketahui dengan melihat batu nisannya.

Gambar 1.5
Makam Panembahan Ronggosukowati
Di sebelah kanan makam Panembahan Ronggosukowati terdapat makam istrinya, yakni Ratu Inten.  Yang sudah bercorak islam.

Gambar 1.3
Makam Raden Ayu Kumala Intan (Ratu Inten)
Penempatan makam tersebut bukan tanpa alasan. Jika kita lihat secara keseluruhan, maka dapat diketahui bahwa penempatan letak maka-makam tersebut seperti barisan perang atau posisi catur, dimana prajurit diletakkan di bagian depan, selanjutnya merupakan barisan para panglima, patih atau Putra Mahkora, selanjutnya di bagian akhir merupakan posisi Sang Raja.

DAFTAR PUSTAKA
R.P. Ghazali Al Farouk, Pangeran Ronggosukowati Pendiri Kota Pamekasan Pada Tahun 1530, Surabaya: Karunia, Tth.
Hosnanijatun, Babad Sampang, t.t: Naskah t.p, tt.
Taher, Juru Kunci Pemakaman Ronggosukowati Pamekasan, Wawancara Langsung, (24 Oktober 2011).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS